Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Novel: Confessions


Kekuatan kata dan petaka karenanya...


Novel Perdana Ratu Iyamisu 

Minato Kanae adalah penulis kelahiran Kota Hiroshima, Prefektur Hiroshima, Jepang. Beliau telah memenangkan Shosetsu Suiri New Writers Prize untuk cerpennya yang berjudul ‘The Saint’ dan pada tahun 2008 cerpen tersebut dibentangkan menjadi novel berjudul ‘Confessions’. Novel Confessions berhasil menyabet posisi pertama dalam Weekly Bunshun kategori Novel Misteri Terbaik dan mendapat penghargaan Japanese Bookseller Award. Selain itu, novel ini juga menduduki 10 besar dalam Wall Street Journal kategori Novel Misteri Terbaik pada tahun 2014. Penghargaan lain pun diberikan kepada Minato Kanae untuk cerpen lainnya seperti 'Kokyo' dan 'Umi no Hoshi'. Tulisan-tulisan beliau juga telah diangkat ke layar lebar, misalnya Confessions, Penance, dan Shojo, sehingga tidak bisa diragukan lagi keahliannya dalam menulis cerita thriller dan psychological.  

Kisah Confessions berlatar di SMP S di mana Moriguchi Yuko mengajar dan menjadi wali kelas 1-B yang biasa saja. Ia menjadi guru yang cukup perhatian dengan anak didiknya dan mengapresiasi apa yang telah dicapai anak didiknya. Namun, suatu hari putri tercintanya, Minami, meninggal dan ditemukan di kolam renang sekolah. Kepolisian menyatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh sebuah kecelakaan belaka. Sayangnya, Moriguchi Yuko tidak merelakannya begitu saja. Ia meyakini bahwa anaknya dibunuh oleh dua murid yang diampunya. Ia ingin membalas dendam kepada mereka dan hasrat itu menyulut sebuah malapetaka.

Orang Jepang pun Manusia yang Memiliki Kekurangan

Minato Kanae mengangkat tema mengenai kesehatan mental yang memang menjadi permasalahan besar global dan di Jepang sendiri juga terkenal dengan tingkat depresi dan bunuh diri yang tinggi. Maka, Minato Kanae di sini mencoba mengupas dampak sebuah peristiwa terhadap kesehatan mental orang-orang yang terlibat di dalamnya, dampak perilaku manusia, dan juga hubungan manusia, terutama antara ibu dan anak.

Meskipun sudah ditulis belasan tahun lalu, tema novel ini masih relevan dengan kehidupan sekarang dan juga menyampaikan fakta bahwa masalah kesehatan mental dan kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur sudah pernah terjadi di Jepang. Misalnya saja pembunuhan dua anak di Kobe pada tahun 1997 dan pembunuhan gadis SMA oleh teman sejawatnya pada tahun 2014 lalu. Ini sungguh mengejutkan karena orang Jepang dikenal punya tabiat yang baik dan sopan, hingga disebut-sebut sebagai negara dengan kasus kriminal terendah atau teraman di dunia, tetapi ternyata bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan pula. 

Kisah Petaka dari Matamu

Kendati pada awalnya hanya cerpen berjudul ‘The Saint’, Minato Kanae melanjutkan kisah penghakiman Moriguchi Yuko terhadap kedua murid yang telah membunuh putri semata wayangnya. Dengan mengambil perspektif beberapa tokoh berbeda yang ada dalam cerita; kisah sebelum, selama, dan sesudah penghakiman perlahan terkuak. Penulisannya sederhana, walau malah seperti hanya mengulang-ulang adegan dan hanya ditambahi beberapa sisi lain yang sebelumnya tidak tampak. 

Moriguchi Yuko tidak puas dengan pernyataan polisi yang mengatakan bahwa kematian anaknya, Manami, tewas akibat keecelakaan belaka. Ini pastinya ada dan terjadi di Jepang, tetapi aparat penegak hukum di Indonesia saat ini pun seringkali menangani kasus pembunuhan dengan hasil yang mengecewakan. 

   “Time is money … right?”

Cara yang dipakai Moriguchi pun terbilang unik karena ia hanya ingin menyerang mental dan walaupun ia tampak sangat bengis, sejatinya ia masih punya belas kasih karena Moriguchi hanya mencampur darah penderita AIDS. Ia bilang kalau AIDS akan menjangkit Shimomura Naoki dan Watanabe Shuya, kedua murid bersalah, dalam kurun waktu sekitar 5-10 tahun lamanya. Di sinilah depresi dan rasa bersalah yang sangat melekat pada kepribadian orang Jepang mulai bermain.

Dan … duar!

Tahun ajaran berikutnya pun tiba, Naoki akhirnya kena mental, dan mengurung diri di rumah, sedangkan Shuya tetap masuk seperti biasa, hanya jadi lebih pendiam. Perbedaan tingkat intelektual dan timbal balik lingkungan cukup ditonjolkan pada kedua anak ini. Shuya adalah anak seorang wanita terpelajar, sedangkan Naoki hanyalah anak biasa. Namun, kasih sayang ibu terhadap mereka berkebalikan.

Kemudian muncul karakter baru seperti guru pengganti Moriguchi, Walter dan si ketua kelas, Mizuki. Dari sinilah bencana berikutnya dimulai.

Cerita pun terus bergulir dengan sudut pandang beberapa tokoh berbeda dan banyak pengulangan kisah berdasarkan sudut pandang masing-masing dengan penambahan detail yang tak disebutkan sebelumnya, sehingga rasa penasaran pembaca semakin membesar. 

Tiada yang Sempurna

Menurut saya, meskipun sosok Moriguchi Yuko pantas dibenci, tetapi Watanabe Shuya-lah yang paling pantas dibenci. Jika ia rela ditinggal ibunya dan berusaha dengan akal sehat tanpa ego berlebih, semua cerita ini tidak akan tertulis. Namun, saya juga memakluminya karena mana mungkin ada anak yang tidak merasa sedih karena tak mendapat perhatian orang tuanya.

Novel ini menyampaikan banyak pelajaran kepada saya khususnya bahwa kehidupan, berkeluarga apalagi, itu tak yang ada sempurna. Yang kaya dan terpelajar belum tentu punya keluarga yang harmonis dan orang berilmu belum tentu bisa menggunakannya dengan benar; Depresi dapat menyerang siapapun; Kita harus ikhlas dan berdamai dengan segala kekurangan dan kemalangan, dan masih banyak lagi. 

Kemudian soal informasi. Jangan sampai kita menelan mentah-mentah segala informasi yang disampaikan siapapun, terutama di zaman sekarang. Perlu ada penelusuran yang jelas dan mendetail agar kita tak merugi di kemudian hari, seperti yang dilakukan Mizuki dalam novel ini. Lalu bagaimana peran media dalam memengaruhi pemikiran seseorang. Sangat perlu adanya edukasi terhadap anak-anak, khususnya, agar tidak mudah terkontaminasi informasi yang salah dan kurang tepat yang beredar secara luas di zaman digital ini.

Ketegangan saya saat membaca tidak terlalu kuat pada pembacaan kedua karena saya malah teringat dengan meme yang mirip dengan beberapa adegan. Secara keseluruhan, cerita cukup bagus dengan penulisan yang mudah diikuti dan tentu saja membuat penasaran, walau memang agak membosankan karena hanya mengulang-ulang beberapa adegan. Adanya karakter Sakuranomiya Masayoshi di sini jua membuat saya berpikir bahwa pasti ada suatu tokoh yang merupakan orang terkenal atau “kalangan atas” dalam suatu cerita, yang kendati dalam kisah ini tidak terasa klise.

Notable Quotes

[lihat kutipan]

“Perhatikan diri kalian sendiri. Kalian bisa memperbaikinya mulai sekarang.” 

“Tapi kebencian tak bisa dibalas dengan kebencian. Hatimu tidak akan puas dengan itu.” 

    - Sakuranomiya Masayoshi -


"Menyayangi dan memanjakan itu dua hal yang berbeda."

“Sebenarnya siapakah yang bersalah? Apakah pada akhirnya para pengajar yang tidak bisa memberi peringatan dengan keraslah yang bersalah?”

"Sebenarnya anak itu bukannya ‘bisa kalau berusaha’, tapi anak itu memang ‘tidak bisa berusaha’.” 

    - Moriguchi Yuko -


Skor Akhir: 7.5 

Posting Komentar untuk "Resensi Novel: Confessions"