Review Anime Hotaru no Haka: Kisah Pilu Tahun 1945
![]() |
| Hotaru no Haka © Akiyuki Nosaka, Studio Ghibli |
Berikut adalah ulasan dari saya mengenai anime sad nan legendaris, Hotaru no Haka. Semoga tidak naik pitam setelah membacanya ...
[Spoiler Alert]
Kisah Novel di Tangan Studio Ghibli
Siapa sangka bahwa kisah perjalanan Seita (14) dan Setsuko (4) ternyata diambil dari sebuah novel semi-autobiografi karya Akiyuki Nosaka yang ditulis pada tahun 1967. Anime ini digarap oleh salah satu studio favorit wibu waras, Ghibli pada tahun 1988 dan disutradarai oleh Takahata Isao, yang artinya reputasi anime ini terbilang bagus hingga disebut sebagai masterpiece.
Serangan udara AS ke Kobe pada 16-17 Maret 1945 dan dilakukan kembali pada 15 Juli menghanguskan segala yang bisa disambar api hingga menewaskan ribuan orang, termasuk Ibu Seita. Hal itu menyebabkan mereka harus menumpang hidup di kediaman bibinya di Nishinomiya, Hyōgo. Namun, semakin hari, pangan semakin sulit. Sang Bibi sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan, tapi keponakannya yang seharusnya sudah bisa bantu-bantu, malah asyik bermain dengan adiknya dan itu membuatnya kesal. Sampai akhirnya, Seita mengajak Setsuko pergi dan tinggal di bunker terdekat.
Sayangnya, keputusannya malah membawa nestapa pada sang adik dan akhirnya Setsuko meninggal karena malnutrisi.
Apa yang Perlu Ditangisi?
Dengan membawa unsur penderitaan dan kematian, sebuah tayangan sudah memiliki nilai yang berbeda, terlebih kalau ceritanya adalah penggalan kehidupan (slice of life) seperti yang satu ini. Manusia, apalagi pecinta film dan buku, cewek khususnya, tentunya memiliki kepekaan emosional yang lebih tinggi dan dengan sajian anime-anime dramatis, sudah dipastikan akan menjebol bendungan mata. Hotaru no Haka berhasil menyentuh hati para penonton dengan perjuangan survival kakak-adik tersebut. Pada adegan-adegan seperti itu, musik indah nan melankolis memperkuat sihirnya, apalagi kala elegi "Home Sweeet Home" yang dibawakan oleh Amelita Galli-Curci diputar. Kualitas visual yang dipamerkan pun membuktikan kemampuan animator Jepang pada masa itu sudah luar biasa.
Pentingnya Ilmu Bertahan Hidup
![]() |
| Mencuri adalah jalan ninjaku © Akiyuki Nosaka, Studio Ghibli |
Yah, anggap saja saya ini adalah manusia terlemah karena menonton Hotaru no Haka sambil mendengarkan Bell Witch – Mirror Reaper untuk menangkal paparan kesedihannya. Lagu funeral doom metal berdurasi 83 menit itu sebenarnya menjadi lagu paling melankolis saya dan seharusnya bisa meningkatkan efek sedih, tapi nyatanya tidak.
Dari yang saya tonton, Seita menjadi penyebab utama kematian Setsuko karena tidak serius merawatnya. Meskipun tidak ada pangan, seharusnya ada akalan untuk mencari sesuatu yang bisa diberikan kepada adiknya. Apakah tidak ada tanaman liar yang bisa dimakan? Dia juga bisa mengakses tabungan ibunya secepatnya lalu membeli persediaan untuk bertahan. Atau setidaknya menyuruh Setsuko minum secara rutin karena akses terhadap air bersih masih memungkinkan. Lah, adiknya sekarat, bukannya diberi semangka yang banyak dulu, malah ditinggal masak nasi. Mati, deh ...
Hal tersebut menandakan bahwa dia memang tidak memiliki pengetahuan bertahan hidup dan keras kepala. Itu juga disebabkan oleh kondisi keluarganya yang termasuk berkecukupan, ayahnya pun seorang angkatan laut. Namun, ya, mungkin kematian ibunya juga berpengaruh, tetapi itu lebih berefek pada Setsuko ketimbang dirinya. Dia baru benar-benar terpukul setelah mendengar Jepang menyerah dan ayahnya tak mungkin kembali.
Yah, begitulah. Sudahlah. Kondisi perang memang menyusahkan, tapi nyatanya, Akiyuki Nosaka bisa selamat. Jadi, dia menebus rasa bersalahnya dengan mematikan dirinya dalam ceritanya.
Perlu diingat juga bahwa mereka tidak sendiri. Banyak wilayah di Asia yang bahkan lebih menderita daripada apa yang dialami warga sipil Jepang akibat penjajahan militer mereka. Tindakan Amerika juga salah, tapi jika tidak dibegitukan, Jepang bakal tetap ngeyel dan mungkin akan bertemu Soviet. Kesengsaraan rakyat Jepang telah membuka mata mereka pada ketidaksempurnaan kekaisaran yang mereka agungkan selama itu. Walaupun pada akhirnya, pemerintah selanjutnya menutupi fakta segamblang itu demi pencitraan sebagai korban perang.
Api dan Kunang-kunang
Sebagai tambahan, poster Hotaru no Haka (Grave of the Fireflies (Kuburan Kunang-kunang)) yang menampilkan gambar kedua bocah tersebut dan kunang-kunang memiliki dua arti sekaligus. Yakni Kunang-kunang itu sendiri dan juga hujan bom seperti yang telah disematkan pada judulnya, 火垂るの墓 (火 (hi), api dan 垂る (tateru), menjuntai turun selayaknya gerakan tetesan air pada daun).
Selain itu, menurut Goldberg (2009), kunang-kunang merupakan simbol kematian anak-anak dan jiwa mereka; api yang melahap kota-kota; tentara Jepang (yang membawa cahaya, ya, kan) dan alutsista; dan regenerasi kehidupan yang diharapkan lebih baik dalam alam. Umur Kunang-kunang sendiri cuma 21 hari, termasuk singkat.
Oke, sekian review saya. Anime ini telah memberikan bukti bahwa Studio Ghibli memang bukan ecek-ecek soal visualisasi alam dan saya rasa, desain karakter lawas yang seperti inilah yang lebih menggambarkan wajah orang Jepang ketimbang modelan anime sekarang. Saya juga masih bingung bagaimana sisa kremasi mayat ibunya bisa dipisahkan dari sekian banyaknya orang yang dibakar.
Sayangnya, tidak ada platform streaming legal yang menyediakan anime ini, kecuali VUDU dan Apple TV dengan sistem sewa/beli.
Jangan lupa juga menonton anime spesial peringatan seabad peristiwa kisah di atas, yakni Shuumatsu no Harem. Awoawoawoawo ...
Skor Akhir: 7
Referensi:
[lihat]
Goldberg, W. (2009). Transcending the victim’s history: Takahata Isao’s Grave of the Fireflies. Mechademia, 4(1), 39-52. doi:10.1353/mec.0.0030
https://www.diggitmagazine.com/blog/grave-fireflies-movie-analysis
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pengeboman_Kobe_pada_Perang_Dunia_II


Posting Komentar untuk "Review Anime Hotaru no Haka: Kisah Pilu Tahun 1945"