Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulasan Novel: Blue, Painful, and Brittle

© Sumino Yoru, Penerbit Haru

Kisah penggalan kehidupan yang lebih kompleks.

Pasca kesuksesan besar I Want to Eat Your Pancreas, Sumino Yoru kembali merilis karyanya yang bertajuk Blue, Painful, and Brittle ((青くて痛くて脆い) Aokute, Itakute, Moroi) dengan mengambil jenjang yang lebih tinggi ketimbang buku sebelumnya, yakni universitas. Sebuah masa di mana terjadinya transisi dari remaja menuju dewasa.

Sinopsis

Tabata Kaede sebagai tokoh utama telah menetapkan tema kehidupannya, jangan sampai mendekati orang lain tanpa persiapan dan jangan sampai pula melukai orang lain dengan melawan pendapat orang tersebut. Ia ingin kehidupan selama di kampus berjalan biasa saja, tanpa harus terlibat dengan banyak orang. Namun, kemunculan Akiyoshi Hisano yang berani mengutarakan pendapat dan menjunjung tinggi idealisme mengusik dirinya. Gadis yang ditertawakan dan mendapati tatapan Tabata menemukan sosoknya lalu dimulailah kehidupan yang berbeda dari yang diharpakan Tabata.

Mereka berdua jadi sering bersama dan saat Akiyoshi bingung mau masuk klub yang sesuai dengan idealismenya, Tabata berceloteh supaya dia membuat sendiri saja. Hal itu pun disetujui Akiyoshi dan lahirlah Moai. Klub yang berambisi untuk menuju dunia yang ideal, penuh kedamaian. Namun, semakin ke sini, klub itu keluar jalur dan Tabata yang sudah tidak di sana ingin mengubahnya. Ia berpikir bahwa itu disebabkan oleh hilangnya Akiyoshi. Rencana penghancuran Moai yang berumur tiga tahunan pun dimulai.

Berat Ala Seinen

Novel setebal 360 halaman dan juga ditangani oleh Penerbit Haru ini benar-benar dinaikkan levelnya. Meskipun tanpa tema "berat", kata-kata yang disusun tidak semuanya langsung bisa dipahami. Penjabaran emosi dan pengamatan ekspresi para tokoh sering membuat saya kurang paham, kendati garis besarnya mudah didapat. Hal ini membuktikan kepiawaian Sumino Yoru dalam meracik kata guna membalut aksi-aksi yang tidak “wow” dalam cerita yang beralur maju-mundur seperti biasanya. Namun, ini juga menjadikannya terasa membosankan dan menguras pikiran; kendati ada sisipan misteri hilangnya Akiyoshi yang memaksa pembaca berpikiran macam-macam lalu serasa dipaksa untuk terus mengikutinya. Inilah mengapa saya menyebutnya berat, berbobot khas manga seinen.

Bagi yang belum tahu apa itu seinenseinen ialah istilah jenis demografi yang biasa digunakan pada anime dan manga yang merujuk kepada penonton dewasa. Dewasa di sini tidak terbatas pada unsur pornografi dan kekerasan saja, tetapi juga kompleksitas dan relevansi cerita terhadap penonton atau pembaca.

Btw, Salut juga buat tim Haru dalam memoles terjemahan, walau tetap ada tipo dan tatanan teks yang miring.  

Manusia itu Dinamis

Dengan tema hidupnya, Tabata menjalin hubungan yang tidak terlalu spesial, bahkan terhadap Tosuke, teman karibnya. Tosuke sendiri pun punya tujuan pribadi. Pon-chan, junior Tosuke, bersama Kawahara menjadi "alat" bagi Tabata Kaede, sekaligus memberikan dampak lain. Kawahara-san-lah yang bermain dari sekitar pertengahan hingga akhir sebagai teman kerja paruh waktu dan berbincang, tapi tetap saja ada jarak tertentu yang dibuat Tabata. Pada akhirnya, semua yang hadir memiliki egonya masing-masing. Ada hal-hal yang berakhir mengecewakan karena perubahan yang tak disangka-sangka dan tak semua orang menyukainya. 

Emosi Tabata benar-benar seperti terkurung dalam temanya dan itu malah melukai dirinya sendiri, tapi dia baru menyadarinya di belakang, Terkadang, kita juga sama dengannya, tapi ini jauh lebih relevan bagi orang Jepang yang sering mengungkung emosi dan pendapat pribadi, bersifat tertutup lagi egois. Hanya waktu yang akan menjawabnya. 

Ciri Khas Sumino Yoru

Yah, untuk bumbu kesedihannya, saya masih bisa merasakannya. Apalagi saya juga pernah kuliah, walau nasibnya tidak—saya buat—semulus mereka. Birunya masa muda yang dapat berarti indah dan sebiru memar; kedewasaan yang tampak selalu pahit, kejam, dan statis; dan betapa rapuhnya kita. Sungguh tulisan yang khas ala Sumino Yoru. 

Novel ini, menurut saya, harus dibaca dalam satu periode supaya bisa diingat setiap potongannya. Pembacaan kedua saya benar-benar terasa gila karena ada gap yang agak panjang. 

Buat yang ingin mencicipi kisah sehari-hari yang agak unik dan berat, silakan dinikmati novel ini. Cocok juga untuk para mahasiswa, biar semakin meledak di samping tugas yang mungkin bikin gila.

Notable Quotes

[lihat kutipan]

“Saat menjadi bagian dari masyarakat, pasti tidak akan ada satu pun yang sanggup mengutarakan tema hidupnya sendiri. Semua orang akan menjadi sosok lain.”

“Aku terus mendapatkan hasil, dengan terus berpura-pura menjadi orang yang bukan diriku.”

“Pada dasarnya, tidak ada pekerja yang baik. Kau harus membuka mata lebar-lebar.”

“Kurasa, tidak ada ‘baik’ atau ‘buruk’ bagi orang-orang yang terus-menerus menjadi orang yang bukan diri sendiri itu.”

“Jangan menjadi diri sendiri supaya bisa tetap bertahan hidup dalam lingkungan kerja.”

“Begitu semua waktu dan kenangan itu tidak ada artinya lagi, Aku pun merasa keberadaanku jadi sia-sia. Tidak, keberadaanku ini entah sejak kapan memang sudah sia-sia. Aku saja yang seenaknya berpikir bahwa aku ini punya makna.”

“Ternyaya, mengira keberadaanku ini ada artinya itu berbahaya. Aku malah jadi sadar betul bahwa aku ini sia-sia.”

“Seandainya saja hidupku tiba-tiba berakhir seperti sebuah cerita, mungkin saja rasa sakit dan rongga kosong ini bisa menjadi hal yang sepele. Bukan hanya itu. Mungkin bahkan bisa menjadi pelajaran dan hikmah. Mungkin menjadi sebuah kisah indah.”

“Padahal, mana boleh melukai orang lain karena sudah dilukai.”

(Tabata Kaede)

“Wajar, kan, kalau sesuatu berubah seiring dengan waktu? Tidak serta merta semua yang berubah itu buruk, dan bukan berarti yang tidak berubah itu hebat!”

(Akiyoshi Hisano)

“Orang yang dirisak akan ingat, yang merisak tidak akan ingat.”

(Tosuke)

“... tapi, memang lebih baik memanfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan.”

(Pon-chan)


Skor Akhir: 7.5 

Posting Komentar untuk "Ulasan Novel: Blue, Painful, and Brittle "