Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Novel I Want to Eat Your Pancreas

© Sumino Yoru, Penerbit Haru 
Karya debut Sumino Yoru yang fantastis, melankolis, mungkin juga sebuah masterpiece.

Informasi dan Sinopsis 

Nama Sumino Yoru seakan langsung meroket berkat rilisnya I Want to Eat Your Pancreas pada tahun 2015 silam. Novel tersebut telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, diadaptasi menjadi manga, anime hingga film drama. Penerbit Haru sendiri menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2017, di tahun ketika drama live action-nya rilis.

Cerita berpusat pada pemuda tak bernama yang menemukan buku harian seorang gadis pengidap penyakit pankreas di sebuah rumah sakit. Dia adalah Yamauchi Sakura, teman sekelasnya. Karena telah mengetahui rahasia bahwa gadis itu akan mati, mereka pun jadi teman dekat dan suatu ketika, pemuda introver itu merasakan sesuatu di hatinya. Ia merasa mulai tertarik kepadanya.

Ulasan

Sumino Yoru telah menetapkan ciri khas dari keberhasilannya dalam menulis yakni unsur melankolis atau kesedihan. Beliau berhasil memoles kisah kehidupan sehari-hari dua remaja dengan perbincangan yang tidak jauh dari tema kematian. Sebuah topik yang agak tabu diomongkan apalagi oleh dua anak SMA. Perjalanan dan perjuangan Yamauchi Sakura bersama cowok kutu buku membawakan suasana romantis yang agak gelap dan berat, serta melankolis lagi dramatis.

Pemilihan para karakter sebenarnya sudah lumrah pada waktu itu, yaitu gadis energik dan cowok pendiam, semisal dengan Miyazono Kaori dan Arima Kousei dari Your Lie in April. Sakura dan Kyouko yang penuh semangat serta pemuda introver, kutu buku, dan pendiam lagi tidak suka bergaul. Keduanya juga diterapkan pada novel-novel lainnya, seperti I Saw the Same Dream Again dan Blue, Painful, and Brittle. Kemiripan perkembangan karakter dalam novel perdananya ini pun dipakai dalam Blue, Painful, and Brittle yang mana pemuda tokoh utama pada akhirnya terbuka pada orang lain setelah kehilangan dan penyesalan. 

Konfliknya sendiri tidaklah begitu berat dan formulanya pun mirip dengan dua judul di atas; berupa pergumulan batin tokoh utama, perundungan (bullying), dan pertengkaran dalam dialog dengan tambahan sedikit adu fisik yang dapat memicu spekulasi para pembaca terhadap bocoran akhir cerita. 

Maka dari itu, membaca I Want to Eat Your Pancreas seakan menaruh semangkuk bawang di depan mata, tapi juga penuh nilai serta renungan. Apakah kita siap untuk mati dan benar-benar menjalani hidup dengan mantap, sesuai dengan keinginan kita? Apakah kita siap untuk berpisah dengan kesempatan dan orang-orang tersayang secara mendadak? 
"Kita bertemu atas keinginan kita sendiri." (Yamauchi Sakura, 189)

Takdir memang sepenuhnya kehendak Tuhan, tapi Dia juga memberi keluasan kepada kita untuk menentukan langkah kita sendiri.

Namun, meski hanya setebal 300 halaman, dalam versi yang saya baca masih ada tipo dan pemakaian fon kecil membuat mata agak kurang nyaman, apalagi pada bagian wasiat Sakura yang berupa tulisan bersambung/latin. Terkadang pula ada perkataan si pemuda yang agak susah dicerna.

Walaupun demikian, novel ini sangat-sangat cocok dan recommended buat kalian pecinta anime/manga slice of life, kisah sedih, dan tentu saja Osamu Dazai atau novel Jepang.

Jangan lupa membaca review anime dan dorama-nya juga, ya! 

SKOR: 9/10

Posting Komentar untuk "Resensi Novel I Want to Eat Your Pancreas "