Novel Klasik Animal Farm: Fabel Sosio-politik Fantastis
Bisa dibilang Animal Farm menjadi novel klasik pertama yang saya baca—sebuah fabel bertema sosio-politik yang pastinya lumayan berbobot—dan seperti bacaan lainnya, harus mengulang lagi untuk membuat ulasan ini. Saya dapat edisi terjemahan versi Immortal Publishing dan ternyata Gramedia serta Mizan juga punya versinya sendiri.
Informasi Buku
Judul: Animal Farm
Penulis: George Orwell
Tahun: 2021
Halaman: 166
Penerbit: Immortal Publishing
Sinopsis
Peternakan Major adalah mikik Tuan Jones, tapi dengan wangsit dari Mayor si babi jawara mengubah segalanya. Dia berpesan kepada para binatang yang ada untuk melakukan pemberontakan, menuju peternakan independen yang berasaskan "Binatangisme" dengan tujuh poin utama.
Napoleon dan Snowball menjadi dua antek penggerak, tapi selalu kontradiktif, hinnga sering menyebabkan keributan dan kebencian. Akhirnya, Snowball tersingkir dan Peternakan Binatang—yang sebelumnya bernama Peternakan Manor—memasuki era nan lebih mengerikan.
Ulasan
Sindiran terhadap Uni Soviet
Walaupun secara spesifik menyindir pemerintahan Uni Soviet era Stalin kala itu, karya George Orwell ini mampu menjadi representasi kehidupan di seluruh dunia sepanjang masa, termasuk Kerajaan Inggris Raya dan Amerika Serikat sampai keadaan Indonesia saat ini, lewat babi dan para hewan penghuni Peternakan Manor. Di mana visi dan misi seolah cuma bualan belaka lagi subjektif serta menunjukkan bahwa tidak ada pencapaian besar tanpa pengorbanan besar pula.
Watak Manusia dan Babi
Di sana, para babi sungguh licik, egois, munafik, lagi tamak seiring meleknya mata mereka akan kekayaan dan kekuasaan dengan dalih bahwa mereka berjuang lewat kecerdasan mereka. Kebenaran dan keadilan terus digerus Napoleon si babi hitam manipulator, mulai dari fitnah dan pengusiran Snowball si babi revolusioner yang menggaungkan pemutakhiran teknologi hingga pemberlakuan kerja yang menyiksa serta pengurangan jatah pakan. Para babi memanfaatkan kebodohan binatang lain untuk kemakmuran kaum sendiri dan sekalipun ada yang mengerti, seperti Benjamin si keledai, para binatang bawahan para babi tak memiliki kemampuan berarti, bahkan untuk sekadar menyuarakan pendapat mereka. Boxer si kuda pekerja keras menjadi contoh baik dan buruk, yakni pantang menyerah dan terlalu obsesif dengan suatu hal karena tak jarang itu bisa menghancurkan diri. Namun, itu kembali lagi pada perspektif masing-masing yang tidak bisa diubah sewenang-wenang. Ia juga menjadi bumbu dramatis nan menyayat hati dalam novel ini.
Dengan membaca novel ini, kita tak hanya diajak untuk merenungkan betapa busuknya kita sebagai manusia, tapi jua sebagai upaya untuk menggugah minat kita pada sejarah perang dunia. Dalam pikiran saya pun merasa bahwa Animal Farm bisa menjadi bacaan emas bagi para aktivis vegan yang terus menyuarakan hak binatang, tapi itu masalah lain. Yang utama adalah kemauan kita untuk menilik sejarah guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta mengambil pelajaran darinya, meski memilah sumber yang objektif itu pun seakan sulit.
Skillful Editing
Kendati digarap oleh penerbit minor, tim Immortal Publishing menunjukkan kepiawaiannya dalam menerjemahkan dan menyelaraskan sehingga nyaris tidak saya temui tipo atau kekakuan, melainkan kata-kata baru di dalam buku ini. Sampul yang gelap—berbeda dari versi Gramedia maupun Mizan—dengan hanya memberikan cetakan timbul pada judulnya saja seolah memberikan sinyal pada pembaca bahwa kisah Animal Farm cukup suram, sekelam realitas. Penempatan kata pengantar dari George Orwell di belakang agaknya sudah diatur supaya kita terfokus pada cerita dan saya pribadi memang agak berat hati untuk membacanya.
Kesimpulan
Maka, tentunya novel Animal Farm sangat-sangat pantas dibaca bagi siapa saja, terutama para pecinta karya klasik, fabel dan sejarah.
Posting Komentar untuk "Novel Klasik Animal Farm: Fabel Sosio-politik Fantastis"